Artikel / Opini

Arsip Digital KPU: Merawat Memori Kolektif Pemilu dan Demokrasi di Indonesia

oleh: Yudi Rolies Priyadi, S.H.,M.A Sekretaris KPU Kabupaten Tegal   Dalam menjalankan tugasnya, KPU sebagai lembaga pengawal demokrasi tentu menghasilkan dokumen negara yang sangat penting. Setiap detak pelaksanaan tugas tersebut, arsip hadir sebagai dokumen perencanaan, pelaksanaan dan juga tentu saja dokumen hasil. Arsip mungkin tidak selalu tampak meriah seperti masa kampanye atau pelantikan calon terpilih, namun tanpa arsip sejarah pemilu akan kehilangan jejaknya. Ia bukan sekedar tumpukan kertas di kolong meja atau di gudang belakang kantor, melainkan memori institusi, dokumen hasil kerja, laporan pertanggungjawaban dan tentu saja sebagai bukti nyata bahwa proses pelaksanaan tugas dan fungsi berjalan. Seperti disampaikan oleh pakar kearsipan dari Universitas Indonesia Prof. Dr. Sulistyo Basuki dalam bukunya Manajemen Arsip Dinamis dan Statis, “Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam bentuk dan media, yang memiliki nilai guna sebagai bahan bukti dan informasi”. Artinya, arsip bukan soal -hanya- menyimpan, tetapi menjaga jejak akuntabilitas. Sayangnya, kesadaran akan pentingnya arsip seringkali muncul ketika masalah terjadi. Saat dokumen tidak ditemukan, saat data hilang, barulah semua panik mencari. Padahal, pengelolaan arsip yang tertib adalah pondasi dari pemerintahan yang akuntabel dan transparan. Bagi KPU, arsip yang rapi adalah dasar bagi lembaga untuk menunjukkan integritas: bahwa setiap langkah diambil berdasarkan data dan prosedur yang sah. Arsip bukan hanya tanggung jawab salah satu divisi/bagian. Arsip menjadi tanggung jawab kolektif, baik dari unit pencipta arsip maupun unit penyimpan. Untuk membentuk alur pengelolaan arsip yang tertib, setidaknya ada tiga unsur yang saling berkaitan erat. Pertama, Unit Pencipta Arsip. Ini adalah divisi atau bagian yang pertama kali menghasilkan dokumen, misalnya: surat keputusan, laporan kegiatan, atau dokumen pertanggungjawaban. Tugas utamanya menciptakan, mencatat dan menata arsip aktif. Di tahap ini arsip disebut sebagai arsip dinamis aktif. Kedua, Unit Penyimpan Arsip. Setelah arsip tidak lagi digunakan secara rutin, tetapi masih mempunyai nilai administrasi, arsip tersebut dipindahkan ke unit penyimpan arsip. Di sinilah arsip menjadi arsip dinamis inaktif. Unit ini bertugas menjaga keamanan, melakukan klasifikasi dan memastikan arsip mudah ditemukan kembali jika dibutuhkan. Unit ini juga memastikan agar arsip disimpan sesuai jadwal retensinya. Ketiga, Jadwal Retensi Arsip. Adalah jangka waktu penyimpanan arsip sebelum ditentukan nasib akhirnya, apakah akan dimusnahkan atau dipermanenkan menjadi arsip statis. Penetapan jadwal retensi untuk KPU dilakukan mendasari Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2023. Singkatnya, relasi-fungsional dari ketiga hal tersebut adalah: unit pencipta membuat arsip, unit penyimpan merawatnya, dan jadwal retensi mengatur siklus hidupnya. Saat ini, tantangan kearsipan semakin kompleks. Digitalisasi memang membuka jalan baru: lebih cepat, lebih hemat ruang dan kemudahan akses. Nevertheless, tanpa sistem yang baik, arsip digital bisa lebih rawan daripada arsip fisik. Kerusakan file, format berubah, serangan virus, aksesnya hilang karena lupa kata sandi dan sebagainya. Di sinilah peran SDM kearsipan menjadi krusial, bukan hanya sebagai penyimpan, tetapi juga sebagai penjaga informasi yang menjamin kesinambungan pelayanan publik. Selain peran SDM, manajemen arsip elektronik juga harus memenuhi prinsip autentisitas, keutuhan dan keamanan informasi. Setiap dokumen digital harus memiliki metadata, klasifikasi yang jelas serta sistem penyimpanan dengan backup berkala. Beberapa tawaran best practice yang bisa diterapkan antara lain: Membangun sistem klasifikasi arsip yang seragam antar bagian, agar proses temu-balik dokumen lebih cepat; Melatih pegawai tentang pentingnya penciptaan arsip yang benar: mulai dari penamaan file, pengkodean surat, hingga penyimpanan digitalnya; Melakukan audit arsip berkala sebagai bagian dari proses monitoring dan evaluasi; Menerapkan sistem e-Arsip yang terintegrasi dengan sistem informasi lainnya agar tidak terjadi duplikasi atau kehilangan data. Kita perlu merubah cara pandang terhadap arsip. Dari sekedar pekerjaan tambahan menjadi tanggung jawab strategis. Arsip bukan sekedar ‘urusan masa lalu’, melainkan bagian dari etos kerja, disiplin, tertib dan tanggung jawab atas setiap dokumen yang dihasilkan. Arsip KPU adalah jantung dari tata kelola pemilu dan demokrasi di Indonesia, suatu memori kolektif yang harus kita rawat bersama. Dan di era digital ini, menjaga arsip juga berarti menjaga keberlanjutan pemerintahan itu sendiri. Orang bijak mengatakan, “Negara yang tidak mengelola arsipnya dengan baik, sedang menyiapkan lupa atas sejarahnya sendiri”.

Ragam Profesi, Satu Pengabdian Cerita di Balik Petugas Ad Hoc Pemilu

Oleh: Dian Anika Sari Anggota KPU Kab.Tegal Div Sosdiklih, Parmas dan SDM   Setiap kali Pemilu atau Pilkada digelar, perhatian publik biasanya tertuju pada para calon dan hasil penghitungan suara. Namun, di balik itu semua, ada ribuan orang yang bekerja  tanpa banyak sorotan. Mereka adalah petugas ad hoc — PPK, PPS, Pantarlih dan KPPS — garda terdepan yang memastikan setiap suara rakyat terjaga dan setiap proses berjalan sesuai aturan. Keragaman Profesi, Kekuatan Demokrasi Petugas ad hoc di Kabupaten Tegal datang dari berbagai latar belakang. Ada yang guru, perangkat desa, karyawan swasta, buruh, pedagang , petani, mahasiswa bahkan ibu rumah tangga. Ketika Pemilu tiba, mereka membagi waktu meninggalkan rutinitasnya sejenak untuk menjalankan amanah baru menyelenggarakan pesta demokrasi di tingkat akar rumput. Keberagaman itu bukan sekadar daftar profesi, melainkan potret nyata gotong royong demokrasi di tingkat akar rumput. Mereka bukan pejabat, bukan tokoh politik, melainkan warga biasa yang bersedia mengorbankan waktu dan tenaga demi memastikan suara rakyat terjaga. Guru, misalnya, membawa ketelitian dan disiplin administratif dalam menjalankan tugas kepemiluan. Petani membawa ketangguhan dan kesabaran menghadapi cuaca yang tidak menentu—sama seperti menghadapi tekanan waktu rekapitulasi suara. Pedagang dan pelaku usaha kecil terbiasa berinteraksi dengan banyak orang, sehingga tangkas menghadapi dinamika di TPS. Mahasiswa dengan karakternya yang Enerjik, melek teknologi, cepat belajar, bisa membawa semangat idealisme muda dalam menjaga integritas Pemilu. Sementara Ibu Rumah tangga di kenal multitasking dan memiliki kedekatan sosial dengan komunitas , hal ini memperkuat aspek humanis dalam penyelenggaraan Pemilu di tingkat akar rumput. Dari sini kita melihat bahwa latar belakang pekerjaan bukan sekadar identitas sosial, tetapi juga modal sosial yang memperkaya kinerja penyelenggara. KPU tak hanya merekrut petugas, tetapi secara tidak langsung menggerakkan sumber daya manusia dengan keahlian yang beragam untuk tujuan bersama: menjamin hak pilih warga. Antara Pengabdian dan Realitas Ekonomi Tidak bisa dipungkiri, motivasi menjadi petugas adhoc berlapis-lapis. Ada yang mendaftar karena semangat pengabdian, ada pula yang terdorong oleh kebutuhan ekonomi. Di daerah seperti Tegal, di mana sebagian masyarakatnya bekerja di sektor informal dengan pendapatan tidak tetap, tugas adhoc menjadi kesempatan tambahan pendapatan sekaligus relasi dan pengalaman baru. Namun, di balik itu semua, ada nilai yang lebih dalam: keinginan untuk berperan dalam proses besar bernama demokrasi. Banyak petugas mengatakan bahwa mereka merasa bangga bisa “menjadi bagian dari sejarah”, meski hanya sehari di TPS. “Pengalaman ini membuka mata saya betapa berharganya proses pemilu yang jujur dan adil. Meski melelahkan saya bersyukur bisa menjadi bagian dari penyelenggara pemilu. Pengalaman ini bukan hanya menambah wawasan tapi juga memperluas pertemanan dan mempererat rasa cinta saya pada demokrasi di Indonesia” kata seorang petugas PPS di Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal. Kalimat sederhana yang menggambarkan betapa besarnya tanggung jawab moral yang mereka emban. Tantangan dan Pembelajaran Sosial Bekerja sebagai petugas adhoc juga menjadi ruang pembelajaran lintas profesi. Mereka belajar mengelola waktu, memahami regulasi, berkoordinasi lintas lembaga, hingga menyelesaikan perbedaan pendapat dengan bijak. Tugas mereka tidak ringan dari mendata pemilih, melakukan sosialisasi pemilu sampai ke akar rumput, menyiapkan logistik, menjaga TPS, hingga menghitung suara hingga larut malam. Banyak di antara mereka yang sebelumnya tidak terbiasa dengan pekerjaan administratif, kini paham arti akurasi data dan pentingnya netralitas Di sisi lain, tantangan juga tak sedikit. Benturan jadwal dengan pekerjaan utama, waktu yang terbatas, cuaca ekstrem dan medan yang sulit, kelelahan fisik, serta tekanan sosial dan politik menjadi bagian yang tak terpisahkan. Namun dari situ pula lahir ketangguhan baru: bahwa menjaga Pemilu bukan hanya urusan elite politik, tetapi kerja kolektif warga biasa. Mungkin inilah yang sering luput dari sorotan: bahwa kekuatan Pemilu bukan hanya pada regulasi dan logistik, melainkan pada manusia-manusia di balik meja kecil TPS—yang setiap hari menyeimbangkan antara profesi dan panggilan tugas negara. Menghargai yang Bekerja di Balik Layar Demokrasi Menjelang setiap tahapan Pemilu, semestinya kita tak hanya fokus pada partai dan calon, tetapi juga menoleh sejenak pada mereka yang memastikan semua berjalan dengan tertib: para petugas adhoc. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa demokrasi bukan sistem yang berdiri sendiri, tetapi jaringan kerja keras yang melibatkan berbagai lapisan profesi. KPU di tingkat kabupaten hingga desa memiliki peran strategis untuk terus memperkuat kapasitas petugas, dengan pelatihan yang menyesuaikan latar belakang pekerjaan mereka. Guru mungkin perlu pendekatan berbeda dari petani, mahasiswa butuh pembinaan kepemimpinan, dan pelaku usaha perlu dukungan manajemen waktu. Dengan memahami keragaman ini, pelaksanaan Pemilu di Kabupaten Tegal tidak hanya menjadi agenda politik lima tahunan, tetapi juga ruang pemberdayaan sosial yang menumbuhkan nilai gotong royong dan tanggung jawab bersama. Menutup dengan Penghargaan Pemilu memang hanya berlangsung satu hari, tetapi kerja para petugas ad hoc berlangsung berbulan-bulan. Petugas adhoc bukan sekadar pelaksana teknis, melainkan wajah nyata demokrasi yang hidup di tengah masyarakat. Dari sawah, pasar, ruang kelas, hingga balai desa—mereka membawa semangat pengabdian yang sederhana namun tulus. Mungkin inilah makna paling dalam dari pekerjaan adhoc: bekerja sementara, tetapi meninggalkan jejak yang abadi bagi perjalanan demokrasi. Karena selama masih ada warga yang bersedia menjaga suara rakyat dengan tangan jujur dan hati ikhlas, demokrasi akan terus bertumbuh—dari akar, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sudah sepantasnya kita memberi apresiasi atas kerja mereka — bukan hanya dengan ucapan terima kasih, tetapi juga dengan menghormati hasil kerja keras yang mereka jaga. Sebab tanpa mereka, Pemilu hanyalah rencana tanpa pelaksana, demokrasi tanpa penjaga.

Digitalisasi Sosialisasi Pemilu

Oleh: Dian Anika Sari Anggota KPU Kab.Tegal  Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM Di era serba digital, sosialisasi pemilu kini tidak hanya mengandalkan spanduk, baliho, atau tatap muka. KPU bersama berbagai pihak mulai memanfaatkan media sosial, aplikasi, dan kanal daring lainnya. Melalui platform seperti Instagram, Tik Tok, You Tube, hingga podcast  pesan pesan kepemiluan dapat disampaikan dengan cara yang lebih segar, kreatif dan mudah diterima oleh masyarakat, khususnya generasi muda yang akrab dengan dunia digital. Digitalisasi sosialisasi pemilu hadir sebagai jawaban atas tantangan zaman agar informasi kepemiluan dapat tersebar cepat, interaktif dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Jadi, digitalisasi sosialisasi pemilu bukan cuma soal posting di media sosial, tapi sudah kearah ekosistem informasi digital : aplikasi, bot, webinar, podcast, bahkan kolaborasi kreator konten. Bentuk sosialisasi pun semakin beragam. Ada infografis yang ringkas dan mudah dibagikan, video pendek ala Tik Tok yang menghibur sekaligus mendidik, webiner dan live streaming untuk diskusi interaktif, hingga aplikasi mobile yang memungkinkan pemilih mengecek data dirinya secara mandiri. Semua ini dirancang agar pemilih bisa mendapatkan informasi yang yang akurat dan resmi, sekaligus merasa dekat dengan proses demokrasi. Digitalisasi sosialisasi pemilu memiliki beberapa tujuan yaitu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu, memperluas jangkauan informasi, dan memperkuat transparansi penyelenggaraan. Dengan memanfaatkan teknologi, informasi resmi dari KPU dapat langsung diakses publik tanpa terdistorsi hoaks. Bahkan interaksi dua arah bisa terbangun karena pemilih dapat mengajukan pertanyaan atau memberikan masukan secara langsung melalui kanal digital. Namun penerapan sosialisasi berbasis digital ini tidak lepas dari tantangan. Kesenjangan akses internet masih terjadi di sejumlah daearah, literasi digital sebagian masyarakat juga masih terbatas, dan ancaman hoaks terus membayangi. Selain itu kemampuan SDM KPU di tingkat daerah untuk mengelola konten kreatif digital masih beragam. Karena itu, digitalisasi sosialisasi pemilu perlu di dukung dengan strategi yang matang. KPU perlu memperkuat kanal resminya, menyajikan konten yang sesuai segmen usia, menggandeng komunitas dan influincer lokal, edukasi literasi digital, sekaligus aktif dalam memerangi hoaks bersama pemerintah dalam patform media sosial. Dengan cara ini, digitalisasi tidak hanya menjadi tren, tetapi benar benar menjadi sarana efektif untuk mendekatkan pemilu kepada rakyat, terutama generasi muda yang akan menjadi penetu masa depan demokrasi Indonesia.

Kerangka Acuan Kerja: Pondasi dalam Perencanaan Kegiatan

oleh: Yudi Rolies Priyadi, S.H.,M.A Sekretaris KPU Kabupaten Tegal Ungkapan perencanaan yang baik adalah setengah keberhasilan mengandung arti bahwa dalam mencapai tujuan ada tindakan awal yang paling krusial yaitu perencanaan. Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu dipikirkan dalam proses perencanaan. Pertama, target/tujuan. Merupakan sasaran dan output kegiatan yang ingin dicapai. Kedua, sumber daya, meliputi: man, money, material. Dukungan sumber daya manusia, ketersediaan anggaran dan sarana prasarana pendukung. Ketiga, cara atau metode mancapai tujuan. Dalam konteks KPU, perencanaan adalah satu tahapan awal yang juga sangat krusial. Pelaksanaan pemilu/pilkada yang satu dengan yang lain adalah suatu siklus yang sifatnya berkesinambungan. Suksesnya pelaksanaan pemilu/pilkada hari ini, tentu merupakan hasil dari tahapan perencanaan (pre-election), pelaksanaan (election) dan evaluasi (post-election). Hal tersebut sekali lagi menegaskan bahwa tahapan perencanaan merupakan suatu bagian dari kesuksesan yang tidak bisa dianggap remeh. Gagal dalam merencanakan dengan baik itu sama saja dengan merencanakan kegagalan itu sendiri. Pada tataran teknis, bagaimana kemudian suatu perencanaan kegiatan tahapan, dapat mencapai outputnya dengan baik? Maka kita perlu suatu dokumen kerangka berpikir yang disusun dan disepakati bersama yang digunakan sebagai blueprint untuk mencapai output tersebut. Dokumen tersebut sering kita kenal dengan istilah Kerangka Acuan Kerja (KAK). Untuk memudahkan dalam penyusunan KAK, kita perlu panduan sebagai kerangka berpikir. Walaupun tidak secara eksplisit tersebut, namun penyusunan KAK seringkali memuat pendekatan 5W2H. Secara sederhana penjabarannya sebagai berikut: Pendekatan Substansi Keterangan What Uraian kegiatan yang akan dilakukan Pada KAK menjelaskan  tentang Apa sih kegiatan ini? Bisa saja nama kegiatan/tahapan/judul Why Latar belakang dan tujuan kegiatan Pada KAK menjelaskan Mengapa sih kegiatan ini penting dilaksanakan? Bisa disampaikan juga peraturan/petunjuk teknis/arahan pimpinan yang melatarbelakangi Who Penanggung jawab, pelaksana, pihak terkait lainnya Pada KAK menjelaskan Siapa sasaran/penerima manfaat dari pelaksanaan kegiatan, bisa masyarakat, pemilih, peserta pemilu, pihak terkait lainnya Where Lokasi pelaksanaan kegiatan Pada KAK menjelaskan Dimana kegiatan tersebut dilaksanakan When Jadwal pelaksanaan Pada KAK menjelaskan tentang Kapan kegiatan tersebut dilakukan, bisa memuat susunan acara/time line/durasi waktu How Strategi pelaksanaan Pada KAK menjelaskan tentang Bagaimana metode kerja dan hal teknis pelaksanaan kegiatan tersebut How Much Rencana Anggaran Biaya (RAB) Pada KAK menjelaskan tentang Berapa Banyak anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut Di dalam organisasi KPU, terdapat 2 (dua) entitas, yaitu: Komisioner sebagai policy making yang terbagi dalam beberapa Divisi dengan model kepemimpinan kolektif-kolegial dan Sekretariat sebagai supporting system dengan model kepemimpinan birokrasi. Tugas fungsi dan kewenangan keduanya telah diatur secara jelas dalam peraturan. Dalam konteks penyusunan KAK pada suatu tahapan dengan entitas tersebut di atas, maka perlu dipahami bersama mengenai peran masing-masing. Untuk mengedepankan prinsip efektif dan efisien urutannya adalah sebagai berikut: Pertama, Divisi yang mengampu kegiatan mencermati peraturan mengenai tahapan yang diampu dan menguraikan dalam beberapa kegiatan pendukung pelaksanaan tersebut. Seringkali pencermatan tersebut juga didapat dari arahan pimpinan melalui surat dinas/surat edaran/petunjuk teknis dan/atau diskusi sharing-knowledge dengan Sekretariat. Kedua, Divisi melakukan pendalaman didampingi Kepala Sub Bagian terkait untuk merumuskan pendekatan-pendekatan awal (5W2H) menjadi konsep KAK. Sekretariat bertugas mendokumentasikan konsep KAK hasil pendalaman tersebut. Ketiga, Divisi mengusulkan konsep KAK tersebut kepada Ketua untuk dilakukan pleno pembahasan dan penetapan KAK. Keempat, Ketua mengundang segenap Divisi, Sekretaris, Pejabat Struktural dan juga dapat melibatkan Pengelola Keuangan.  Dalam forum tersebut, peserta dapat memberikan masukan. Untuk kesekretariatan, sebagai pelaksana teknis, harus dapat mencermati dan memberikan masukan dari sisi pengalaman, dukungan personil pelaksana kegiatan, sarana dan prasarana pendukung serta ketersediaan anggaran agar sesuai dengan ketentuan. Prinsipnya, masih lebih baik jika dalam pembahasan tersebut terjadi dialektika untuk menemukan konsep terbaik dan disepakati bersama daripada forum tersebut hanya bersifat formalistik-administratif yang ujung-ujungnya sulit/menemukan kendala pada proses pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Kolaborasi dalam penyusunan KAK semacam ini adalah pondasi tahapan perencanaan (pre-election) dalam pemilu/pilkada. Selain hal prinsip lainnya, yaitu sinergitas, soliditas, memahami peran dan tanggung jawab masing-masing serta saling menghargai.

Bedah Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) Triwulan II 2025

oleh: Ceptian Zubaer Adhnan, A.Md Anggota KPU Kabupaten Tegal Divisi Perencanaan, Data dan Informasi   Pada Rabu, 2 Juli 2025, KPU Kabupaten Tegal telah menyelesaikan proses Rekapitulasi Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) untuk Triwulan II tahun 2025. Hasilnya, KPU Menetapkan jumlah pemilih sebanyak 1.260.665 orang, terdiri dari 637.667 pemilih laki-laki dan 622.988 pemilih perempuan, yang tersebar di 18 kecamatan. Jika dibandingkan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu dan Pemilihan tahun 2024, terjadi kenaikan: Periode Jumlah Pemilih Kenaikan Persentase DPT Pemilu 2024 1.242.454 - - DPT Pemilihan 2024 1.244.301 1.847 0,15% PDPB Triwulan II 2025 1.260.665 16.364 1,32% Sumber Data : Admin Sidalih Kenaikan ini menunjukkan betapa dinamisnya data pemilih. Setiap hari, data dapat berubah karena berbagai faktor. seperti warga yang baru genap berusia 17 tahun, pindah domisili, meninggal dunia, menikah. Perlu dipahami, pemutakhiran data pemilih tidak hanya dilakukan menjelang Pemilu atau Pemilihan. Sesuai dengan PKPU Nomor 1 Tahun 2025, KPU Kabupaten/Kota wajib memperbarui data pemilih setiap tiga bulan. Melalui program PDPB, KPU Kabupaten Tegal memastikan daftar pemilih senantiasa komprehensif, inklusif, akurat, dan mutakhir. Berikut rincian perubahan yang tercatat selama Triwulan II: Kategori Alasan Jumlah Pemilih Tidak Memenuhi Syarat Meninggal Dunia 1.065   Pindah Domisili 3.231 Pemilih Baru - 20.651 Perubahan Data Pemilih - 2.318 Sumber Data : Admin Sidalih Kategori Pemilih Pindah Domisili: Jenis Perpindahan Jumlah Persentase Antar Desa dalam Kecamatan 553 17,12% Antar Kecamatan 968 29,96% Antar Kabupaten/Kota 1.710 52,92% Sumber Data : Admin Sidalih Profil Generasi Pemilih Baru: Generasi Jumlah Persentase Baby Boomer (sebelum 1965) 9.299 45,03% Generasi X (1965–1980) 2.520 12,20% Generasi Milenial (1981–1996) 982 4,76% Generasi Z (1997–2012) 7.850 38,01% Sumber Data : Admin Sidalih KPU Kabupaten Tegal mengajak seluruh masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga kualitas data pemilih. Jika Anda mengetahui ada warga yang belum terdaftar, tidak memenuhi syarat, atau mengalami perubahan data, silakan sampaikan melalui: ???? Formulir Tanggapan Masyarakat: https://forms.gle/pEqHYVGuRfCg6M359 ???? CEK STATUS PEMILIH ONLINE: https://cekdptonline.kpu.go.id/

Pendidikan Politik sebagai Pondasi Demokrasi yang Sehat

oleh: Adi Purwanto, ST Anggota KPU Kabupaten Tegal Divisi Teknis Penyelenggara Pemilu Dalam bab ini, kita melanjutkan gagasan besar tentang perlunya mengembalikan kesucian politik dan menjadikan kekuasaan sebagai amanat, bukan tujuan. Untuk itu, pendidikan politik menjadi pondasi yang tak bisa ditawar. Demokrasi yang sehat hanya mungkin terwujud jika rakyatnya cerdas secara politik—tidak sekadar dalam hal memilih, tetapi juga memahami mengapa memilih itu penting dan apa konsekuensinya. Pendidikan politik adalah alat yang sangat penting untuk memastikan bahwa rakyat tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga subjek yang berperan aktif dalam pembentukan kebijakan tersebut. Demokrasi yang sehat memerlukan pemilih yang tidak hanya hadir saat pemilu, tetapi yang terlibat dalam pengawasan dan evaluasi kebijakan sepanjang masa jabatan pemimpin. Pendidikan politik seharusnya tidak hanya mengajarkan siapa calon pemimpin atau bagaimana cara memilih, tetapi yang lebih penting adalah memberikan pemahaman tentang dampak politik dalam kehidupan sehari-hari. Politik adalah instrumen yang mulia untuk mencapai kesejahteraan bersama. Politik bukan hanya soal siapa yang memimpin, tetapi juga tentang kebijakan yang mengatur kehidupan masyarakat, mulai dari harga barang hingga pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Jika rakyat tidak cerdas politik, maka mereka akan menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada mereka. Tanpa kesadaran politik, masyarakat tidak akan menyadari bagaimana kebijakan yang ada dapat memengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, pendidikan politik harus diarusutamakan sejak dini—baik melalui kurikulum sekolah, forum-forum masyarakat, media massa, hingga diskusi antarwarga. Masyarakat harus dibekali wawasan tentang pentingnya berpartisipasi dalam proses politik dan bagaimana suara mereka menentukan arah masa depan bangsa. Pendidikan politik juga menanamkan prinsip bahwa memilih dalam pemilu bukan sekadar ritual lima tahunan, melainkan bentuk tanggung jawab moral dan sosial. Rakyat harus memilih bukan karena uang, janji jabatan, atau sentimen sesaat, melainkan karena kapasitas, kapabilitas, visi-misi, dan rekam jejak calon pemimpin. Pilihan politik harus didasarkan pada penilaian rasional dan etis: siapa yang paling mampu membawa perubahan nyata, siapa yang punya integritas, dan siapa yang betul-betul bekerja untuk rakyat. Dengan pemahaman yang baik tentang politik, masyarakat akan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang bijak dan tidak terjebak pada politik praktis yang hanya mengejar keuntungan sesaat. Dalam perspektif Islam, memilih pemimpin bukan hanya hak, melainkan kewajiban. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Jika ada tiga orang dalam perjalanan, maka hendaklah mereka menunjuk salah satu sebagai pemimpin." Ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial, terlebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kepemimpinan adalah hal yang sangat penting. Negara membutuhkan nakhoda. Dan pemilihan nakhoda ini tidak boleh sembarangan, apalagi asal-asalan. Lebih jauh, kita perlu menyadari bahwa seluruh aspek kehidupan masyarakat—harga sembako, tarif listrik, pendidikan, kesehatan, hingga pengelolaan sumber daya alam—ditentukan oleh kebijakan politik. Maka, jika rakyat buta politik, mereka akan menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik. Pepatah lama menyebutkan: "Jika engkau tidak peduli politik, maka engkau akan dipimpin oleh orang yang lebih buruk darimu." Ini mempertegas bahwa politik bukanlah sesuatu yang dapat dipandang sebelah mata, karena setiap keputusan politik akan langsung berdampak pada kualitas hidup rakyat. Karena itu, pemilih yang cerdas adalah mereka yang sadar bahwa suara mereka bukan untuk dijual, melainkan untuk diperjuangkan. Menjadi pemilih yang bermartabat berarti tidak golput, tidak pragmatis, dan tidak mudah tergiur pencitraan kosong. Kita butuh pemilih yang kritis, rasional, dan berani menjaga idealisme politik. Pendidikan politik juga mendorong partisipasi aktif rakyat dalam mengawal kebijakan publik. Demokrasi tidak berhenti di bilik suara, melainkan berlanjut dalam bentuk kontrol sosial, advokasi kebijakan, hingga keterlibatan dalam forum-forum musyawarah. Dengan pendidikan politik yang baik, rakyat akan memahami peran dan kekuatannya sebagai penentu arah bangsa. Pada akhirnya, demokrasi akan matang jika rakyatnya terdidik secara politik. Maka, investasi terbesar bangsa ini bukan hanya pada infrastruktur fisik, tetapi pada pembangunan kesadaran politik rakyatnya. Pemimpin yang baik lahir dari rakyat yang cerdas, dan rakyat yang cerdas hanya bisa dibentuk melalui pendidikan politik yang bermartabat dan berkelanjutan.

Populer

Belum ada data.