Artikel / Opini

Ragam Profesi, Satu Pengabdian Cerita di Balik Petugas Ad Hoc Pemilu

Oleh: Dian Anika Sari

Anggota KPU Kab.Tegal Div Sosdiklih, Parmas dan SDM

 

Setiap kali Pemilu atau Pilkada digelar, perhatian publik biasanya tertuju pada para calon dan hasil penghitungan suara. Namun, di balik itu semua, ada ribuan orang yang bekerja  tanpa banyak sorotan. Mereka adalah petugas ad hoc — PPK, PPS, Pantarlih dan KPPS — garda terdepan yang memastikan setiap suara rakyat terjaga dan setiap proses berjalan sesuai aturan.

Keragaman Profesi, Kekuatan Demokrasi

Petugas ad hoc di Kabupaten Tegal datang dari berbagai latar belakang. Ada yang guru, perangkat desa, karyawan swasta, buruh, pedagang , petani, mahasiswa bahkan ibu rumah tangga. Ketika Pemilu tiba, mereka membagi waktu meninggalkan rutinitasnya sejenak untuk menjalankan amanah baru menyelenggarakan pesta demokrasi di tingkat akar rumput.

Keberagaman itu bukan sekadar daftar profesi, melainkan potret nyata gotong royong demokrasi di tingkat akar rumput. Mereka bukan pejabat, bukan tokoh politik, melainkan warga biasa yang bersedia mengorbankan waktu dan tenaga demi memastikan suara rakyat terjaga.

Guru, misalnya, membawa ketelitian dan disiplin administratif dalam menjalankan tugas kepemiluan. Petani membawa ketangguhan dan kesabaran menghadapi cuaca yang tidak menentu—sama seperti menghadapi tekanan waktu rekapitulasi suara. Pedagang dan pelaku usaha kecil terbiasa berinteraksi dengan banyak orang, sehingga tangkas menghadapi dinamika di TPS. Mahasiswa dengan karakternya yang Enerjik, melek teknologi, cepat belajar, bisa membawa semangat idealisme muda dalam menjaga integritas Pemilu. Sementara Ibu Rumah tangga di kenal multitasking dan memiliki kedekatan sosial dengan komunitas , hal ini memperkuat aspek humanis dalam penyelenggaraan Pemilu di tingkat akar rumput.

Dari sini kita melihat bahwa latar belakang pekerjaan bukan sekadar identitas sosial, tetapi juga modal sosial yang memperkaya kinerja penyelenggara. KPU tak hanya merekrut petugas, tetapi secara tidak langsung menggerakkan sumber daya manusia dengan keahlian yang beragam untuk tujuan bersama: menjamin hak pilih warga.

Antara Pengabdian dan Realitas Ekonomi

Tidak bisa dipungkiri, motivasi menjadi petugas adhoc berlapis-lapis. Ada yang mendaftar karena semangat pengabdian, ada pula yang terdorong oleh kebutuhan ekonomi. Di daerah seperti Tegal, di mana sebagian masyarakatnya bekerja di sektor informal dengan pendapatan tidak tetap, tugas adhoc menjadi kesempatan tambahan pendapatan sekaligus relasi dan pengalaman baru.

Namun, di balik itu semua, ada nilai yang lebih dalam: keinginan untuk berperan dalam proses besar bernama demokrasi. Banyak petugas mengatakan bahwa mereka merasa bangga bisa “menjadi bagian dari sejarah”, meski hanya sehari di TPS.

Pengalaman ini membuka mata saya betapa berharganya proses pemilu yang jujur dan adil. Meski melelahkan saya bersyukur bisa menjadi bagian dari penyelenggara pemilu. Pengalaman ini bukan hanya menambah wawasan tapi juga memperluas pertemanan dan mempererat rasa cinta saya pada demokrasi di Indonesia” kata seorang petugas PPS di Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal. Kalimat sederhana yang menggambarkan betapa besarnya tanggung jawab moral yang mereka emban.

Tantangan dan Pembelajaran Sosial

Bekerja sebagai petugas adhoc juga menjadi ruang pembelajaran lintas profesi. Mereka belajar mengelola waktu, memahami regulasi, berkoordinasi lintas lembaga, hingga menyelesaikan perbedaan pendapat dengan bijak. Tugas mereka tidak ringan dari mendata pemilih, melakukan sosialisasi pemilu sampai ke akar rumput, menyiapkan logistik, menjaga TPS, hingga menghitung suara hingga larut malam. Banyak di antara mereka yang sebelumnya tidak terbiasa dengan pekerjaan administratif, kini paham arti akurasi data dan pentingnya netralitas

Di sisi lain, tantangan juga tak sedikit. Benturan jadwal dengan pekerjaan utama, waktu yang terbatas, cuaca ekstrem dan medan yang sulit, kelelahan fisik, serta tekanan sosial dan politik menjadi bagian yang tak terpisahkan. Namun dari situ pula lahir ketangguhan baru: bahwa menjaga Pemilu bukan hanya urusan elite politik, tetapi kerja kolektif warga biasa.

Mungkin inilah yang sering luput dari sorotan: bahwa kekuatan Pemilu bukan hanya pada regulasi dan logistik, melainkan pada manusia-manusia di balik meja kecil TPS—yang setiap hari menyeimbangkan antara profesi dan panggilan tugas negara.

Menghargai yang Bekerja di Balik Layar Demokrasi

Menjelang setiap tahapan Pemilu, semestinya kita tak hanya fokus pada partai dan calon, tetapi juga menoleh sejenak pada mereka yang memastikan semua berjalan dengan tertib: para petugas adhoc. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa demokrasi bukan sistem yang berdiri sendiri, tetapi jaringan kerja keras yang melibatkan berbagai lapisan profesi.

KPU di tingkat kabupaten hingga desa memiliki peran strategis untuk terus memperkuat kapasitas petugas, dengan pelatihan yang menyesuaikan latar belakang pekerjaan mereka. Guru mungkin perlu pendekatan berbeda dari petani, mahasiswa butuh pembinaan kepemimpinan, dan pelaku usaha perlu dukungan manajemen waktu.

Dengan memahami keragaman ini, pelaksanaan Pemilu di Kabupaten Tegal tidak hanya menjadi agenda politik lima tahunan, tetapi juga ruang pemberdayaan sosial yang menumbuhkan nilai gotong royong dan tanggung jawab bersama.

Menutup dengan Penghargaan

Pemilu memang hanya berlangsung satu hari, tetapi kerja para petugas ad hoc berlangsung berbulan-bulan. Petugas adhoc bukan sekadar pelaksana teknis, melainkan wajah nyata demokrasi yang hidup di tengah masyarakat. Dari sawah, pasar, ruang kelas, hingga balai desa—mereka membawa semangat pengabdian yang sederhana namun tulus.

Mungkin inilah makna paling dalam dari pekerjaan adhoc: bekerja sementara, tetapi meninggalkan jejak yang abadi bagi perjalanan demokrasi. Karena selama masih ada warga yang bersedia menjaga suara rakyat dengan tangan jujur dan hati ikhlas, demokrasi akan terus bertumbuh—dari akar, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Sudah sepantasnya kita memberi apresiasi atas kerja mereka — bukan hanya dengan ucapan terima kasih, tetapi juga dengan menghormati hasil kerja keras yang mereka jaga. Sebab tanpa mereka, Pemilu hanyalah rencana tanpa pelaksana, demokrasi tanpa penjaga.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 44 kali