Artikel / Opini

Pendidikan Politik sebagai Pondasi Demokrasi yang Sehat

oleh: Adi Purwanto, ST

Anggota KPU Kabupaten Tegal Divisi Teknis Penyelenggara Pemilu

Dalam bab ini, kita melanjutkan gagasan besar tentang perlunya mengembalikan kesucian politik dan menjadikan kekuasaan sebagai amanat, bukan tujuan. Untuk itu, pendidikan politik menjadi pondasi yang tak bisa ditawar. Demokrasi yang sehat hanya mungkin terwujud jika rakyatnya cerdas secara politik—tidak sekadar dalam hal memilih, tetapi juga memahami mengapa memilih itu penting dan apa konsekuensinya.

Pendidikan politik adalah alat yang sangat penting untuk memastikan bahwa rakyat tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga subjek yang berperan aktif dalam pembentukan kebijakan tersebut. Demokrasi yang sehat memerlukan pemilih yang tidak hanya hadir saat pemilu, tetapi yang terlibat dalam pengawasan dan evaluasi kebijakan sepanjang masa jabatan pemimpin. Pendidikan politik seharusnya tidak hanya mengajarkan siapa calon pemimpin atau bagaimana cara memilih, tetapi yang lebih penting adalah memberikan pemahaman tentang dampak politik dalam kehidupan sehari-hari.

Politik adalah instrumen yang mulia untuk mencapai kesejahteraan bersama. Politik bukan hanya soal siapa yang memimpin, tetapi juga tentang kebijakan yang mengatur kehidupan masyarakat, mulai dari harga barang hingga pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Jika rakyat tidak cerdas politik, maka mereka akan menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.

Tanpa kesadaran politik, masyarakat tidak akan menyadari bagaimana kebijakan yang ada dapat memengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, pendidikan politik harus diarusutamakan sejak dini—baik melalui kurikulum sekolah, forum-forum masyarakat, media massa, hingga diskusi antarwarga. Masyarakat harus dibekali wawasan tentang pentingnya berpartisipasi dalam proses politik dan bagaimana suara mereka menentukan arah masa depan bangsa.

Pendidikan politik juga menanamkan prinsip bahwa memilih dalam pemilu bukan sekadar ritual lima tahunan, melainkan bentuk tanggung jawab moral dan sosial. Rakyat harus memilih bukan karena uang, janji jabatan, atau sentimen sesaat, melainkan karena kapasitas, kapabilitas, visi-misi, dan rekam jejak calon pemimpin. Pilihan politik harus didasarkan pada penilaian rasional dan etis: siapa yang paling mampu membawa perubahan nyata, siapa yang punya integritas, dan siapa yang betul-betul bekerja untuk rakyat. Dengan pemahaman yang baik tentang politik, masyarakat akan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang bijak dan tidak terjebak pada politik praktis yang hanya mengejar keuntungan sesaat.

Dalam perspektif Islam, memilih pemimpin bukan hanya hak, melainkan kewajiban. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Jika ada tiga orang dalam perjalanan, maka hendaklah mereka menunjuk salah satu sebagai pemimpin." Ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial, terlebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kepemimpinan adalah hal yang sangat penting. Negara membutuhkan nakhoda. Dan pemilihan nakhoda ini tidak boleh sembarangan, apalagi asal-asalan.

Lebih jauh, kita perlu menyadari bahwa seluruh aspek kehidupan masyarakat—harga sembako, tarif listrik, pendidikan, kesehatan, hingga pengelolaan sumber daya alam—ditentukan oleh kebijakan politik. Maka, jika rakyat buta politik, mereka akan menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik. Pepatah lama menyebutkan: "Jika engkau tidak peduli politik, maka engkau akan dipimpin oleh orang yang lebih buruk darimu." Ini mempertegas bahwa politik bukanlah sesuatu yang dapat dipandang sebelah mata, karena setiap keputusan politik akan langsung berdampak pada kualitas hidup rakyat.

Karena itu, pemilih yang cerdas adalah mereka yang sadar bahwa suara mereka bukan untuk dijual, melainkan untuk diperjuangkan. Menjadi pemilih yang bermartabat berarti tidak golput, tidak pragmatis, dan tidak mudah tergiur pencitraan kosong. Kita butuh pemilih yang kritis, rasional, dan berani menjaga idealisme politik.

Pendidikan politik juga mendorong partisipasi aktif rakyat dalam mengawal kebijakan publik. Demokrasi tidak berhenti di bilik suara, melainkan berlanjut dalam bentuk kontrol sosial, advokasi kebijakan, hingga keterlibatan dalam forum-forum musyawarah. Dengan pendidikan politik yang baik, rakyat akan memahami peran dan kekuatannya sebagai penentu arah bangsa.

Pada akhirnya, demokrasi akan matang jika rakyatnya terdidik secara politik. Maka, investasi terbesar bangsa ini bukan hanya pada infrastruktur fisik, tetapi pada pembangunan kesadaran politik rakyatnya. Pemimpin yang baik lahir dari rakyat yang cerdas, dan rakyat yang cerdas hanya bisa dibentuk melalui pendidikan politik yang bermartabat dan berkelanjutan.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 136 kali